Pada tanggal 22 November 2023 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta memutuskan menerima permohonan banding yang diajukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan PT.DPM terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Sebelumnya PTUN Jakarta telah memutuskan bahwa batal atau tidak sah SK Kelayakan Lingkungan (Persetujuan Lingkungan) PT.DPM dan memerintahkan KLHK untuk mencabut SK Kelayakan Lingkungan tersebut.
Akan tetapi putusan PTUN Jakarta tersebut dibatalkan oleh PT TUN di tingkat banding. PTUN mendapati bahwa kementerian gagal menerapkan tata kelola yang baik dan gagal melindungi hak masyarakat dan lingkungan. Keputusan ini sudah menimbang laporan-laporan dari para pakar yang menyatakan tambang berpotensi menimbulkan bahaya kesehatan dan lingkungan yang bisa mendatangkan bencana. Menanggapi keputusan PT TUN Jakarta masyarakat yang terdampak tambang bertekad akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
“Tambang DPM ini tidak seharusnya dilanjutkan. PTUN sudah setuju dengan kami. Sekarang malah Pengadilan Tinggi mengatakan tambang bisa mendapatkan persetujuan lingkungannya,” kata Bu Tioman Simangunsong, perwakilan dari masyarakat Dairi, dalam siaran pers yang diterima, Jum'at (24/11).
“Saya sepenuhnya tidak setuju. Sudah waktunya DPM dan KLHK berhenti mempermainkan nyawa manusia dan lingkungan," tegasnya.
Hotman Purba, perwakilan masyarakat Dairi yang lain mengatakan, “Kami akan kasasi ke MA. Harus! Kami tahu tambang ini akan berbahaya. Kami tahu tambang akan membunuh manusia, menghancurkan pertanian, dan merusak lingkungan.”
“Wilayah kami, di Sumatera Utara, terkenal dengan hasil pertanian melalui proses yang bersih yang berkualitas baik. Ini bisa hancur karena tambang DPM. Mereka tidak mengajak kami bicara. Mereka sudah memanipulasi dan menebar perpecahan di dalam masyarakat. Kami mau tambang pergi dari sini,” kata Hotman Purba, perwakilan dari masyarakat.
Masyarakat menilai keputusan yang keluar adalah keputusan yang melukai hati masyarakat. Maka masyarakat juga menuntut kepada para hakim untuk adil dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini juga Pemerintah baiknya tidak kembali menggugat masyarakatnya. Karena yang diperjuangkan masyarakat adalah untuk kehidupan masa depan. Bukan hanya untuk keluarga mereka akan tetapi untuk semua masyarakat Kabupaten Dairi dan untuk keberlangsungan hidup dan lingkungan di masa depan.
Dalam kesempatan lain juga, lembaga pendamping serta ahli yang membantu perjuangan masyarakat menilai bahwa tindakan KLHK memberikan izin kepada PT DPM sangat berbahaya untuk masa depan. BAKUMSU, lembaga yang memberikan bantuan hukum dan advokasi di Medan, Sumatra Utara, bertindak sebagai salah satu kuasa hukum masyarakat yang terdampak.
Tongam Panggabean, Direktur Eksekutif BAKUMSU mengatakan “Kasus ini kasus penting bagi Indonesia. Jika pemerintah Indonesia bisa mengabaikan hak masyarakat dan lingkungan, maka seluruh rakyat Indonesia berada dalam bahaya.”
“Keputusan tersebut memprihatinkan. Semua pihak, termasuk Pengadilan Tinggi, tidak semestinya memihak tata kelola lingkungan yang buruk yang sudah ditunjukkan oleh KLHK. Kini, masyarakat tidak punya pilihan lain selain kasasi ke MA,” kata Tongam Panggabean.
“KLHK selama ini diduga aktif mendukung perusahaan ini. Mereka memberikan persetujuan ke tambang yang sudah jelas-jelas berbahaya. Lalu, atas keputusan PTUN mereka banding. Jelas KLHK menjadi bagian mereka dan sudah lupa akan mandatnya untuk melindungi masyarakat dan lingkungan," ungkapnya.
Melky Nahar, Koordinator Nasional JATAM, sebuah jaringan untuk masyarakat yang terdampak tambang di Indonesia, mengatakan, "Bahwa di seluruh Indonesia kita melihat pemerintah mendukung perusahaan- perusahaan yang melecehkan hak masyarakat dan lingkungan. Dalam kasus KLHK, yang mereka lakukan sangat melanggar mandat mereka sendiri. Siapa yang bisa memercayai pemerintah yang berbuat seperti itu?”
Natalie Bugalski, Direktur Hukum dan Kebijakan di Inclusive Development International, yang sudah bekerja dengan Bakumsu dan masyarakat lokal yang terdampak beberapa tahun lamanya, mengatakan kasus ini punya implikasi besar terhadap masa depan Indonesia sebagai pusat pertambangan.
“Dengan dunia yang mulai beralih ke energi terbarukan dan kendaraan listrik, maka penting agar mineral dan logam yang diperlukan untuk memasok daya bagi transisi ini diambil dengan cara-cara yang tetap menghormati hak-hak masyarakat yang tinggal di tanah-tanah yang memiliki sumber alam yang kaya. Kita mesti secepatnya beralih ke sumber-sumber energi yang terbarukan dan kita memerlukan akses ke mineral-mineral transisi ini untuk dapat melakukan peralihan tersebut - tetapi di sejumlah kasus, penambangan terlalu berisiko untuk dilanjutkan karena sangat ceroboh dalam pengoperasiannya. Tambang DPM adalah salah satu contohnya," katanya.
Natalie Bugalski menambahkan, “Indonesia mencoba memosisikan dirinya sebagai pusat penambangan dan produksi global yang bertanggung jawab, akan tetapi jika pemerintah Indonesia mengizinkan tambang DPM dilanjutkan, maka komitmen pemerintah Indonesia yang rendah untuk melindungi dampak operasi ini terhadap HAM akan jelas terlihat.”
Dr. Stephen Emerman, yang mempelajari dokumen AMDAL DPM, mengatakan, “Dari ratusan AMDAL tambang yang sudah saya pelajari, ini yang paling buruk. Terdapat begitu banyak kesalahan, kelalaian, dan kontradiksi, yang di tempat lain sudah pasti akan dibuang.”
“Kemudian tambangnya sendiri punya masalah yang serius, ia didesain jauh di bawah standar keamanan. Tidak ada pertimbangan tentang potensi dampak terjadinya kerusakan bendungan tailing. Yang notabene ada di atas fondasi yang tidak stabil, di wilayah dengan curah hujan tinggi, di zona dengan risiko gempa paling tinggi di dunia," tambahnya.
“Sangat mencengangkan jika pemerintah Indonesia tetap mengabaikan bahayanya tambang DPM dan tetap mendukungnya,” kata Dr. Emerman.