Warga sipil tanpa senjata masih diperlakukan layaknya kelompok kriminal berbahaya. Aksi damai direspons dengan kekerasan dan intimidasi. Hal ini dialami (lagi) oleh Masyarakat Adat Sihaporas yang tergabung dalam Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (LAMTORAS) pada hari Senin (18/7) yang lalu.
Demikian disampaikan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) dalam siaran pers yang diterima media ini, Senin (25/7), di Medan.
Christian dari BAKUMSU menegaskan bahwa masyarakat tidak pernah bersikap dan bertindak ofensif terhadap kepolisian.
"Apa yang masyarakat lakukan selama ini adalah mempertahankan lahan dan sumber penghidupannya dari ancaman kerusakan", ujarnya.
"Hal ini pula dilakukan oleh Masyarakat Adat Sihaporas. Demi mempertahankan hak sebagai masyarakat adat, mereka terus mengawasi wilayah hutan adat mereka, dengan mendirikan posko di sekitar wilayah adat mereka. Di posko inilah, tepatnya yang berada di Buntu Pangaturan Sihaporas, masyarakat mendapat tindak kekerasan dan intimidasi dari aparat Kepolisian Resor Simalungun (Polres Simalungun) bersama dengan karyawan PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL)" ungkap Christian.
Dijelaskannya, tanpa salam dan tanpa dialog, aparat Polres Simalungun bersama karyawan PT. TPL mengepung posko masyarakat. Portal yang digunakan masyarakat untuk memblokade kegiatan PT. TPL di wilayah mereka pun dirusak. Masyarakat tak tinggal diam. Bentrok tak terhindarkan. Masyarakat Adat Sihaporas, termasuk perempuan, mengalami luka-luka akibat terjatuh saat menghindari aparat dan karyawan PT. TPL yang menggunakan mesin pemotong kayu untuk menakut-nakuti masyarakat.
BAKUMSU mengecam tindakan represif aparat kepolisian ini. Aparat kepolisian yang seharusnya hadir untuk melindungi masyarakat, malah tampil tak ubahnya satpam perusahaan.
"Tindakan-tindakan represif dan intimidatif yang diambil oleh aparat kepolisian bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Khususnya pasal 3 dalam peraturan tersebut yang menegaskan prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian", tegas BAKUMSU.
Salah satu prinsip yang disebutkan di sana ialah prinsip proporsionalitas (pasal 3 huruf c). Artinya penggunaan kekuataan oleh aparat kepolisian harus seimbang antara ancaman yang dihadapi dengan tingkat kekuatan, sehingga tidak menimbulkan korban.
"Penggunaan kekuatan oleh aparat kepolisian dalam hal ini jelas tidak sesuai lagi dengan prinsip proporsionalitas. Karena aksi yang dilakukan oleh masyarakat adat sama sekali tidak mengancam keamanan dan keselamatan pihak manapun. Aparat kepolisian seharusnya bisa lebih persuasif, dan bersikap humanis sebagaimana kepolisian kerap mencitrakan diri institusinya. Dan di atas itu, kepolisian juga seharusnya bisa lebih memahami eksistensi Masyarakat Adat Sihaporas dalam memperjuangkan haknya. Itulah definisi paling masuk akal dari humanisme yang kerap didengungkan kepolisian sebagai salah satu slogannya," jelas Christian.
Tugas kepolisian sebagaimana termaktub pada pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Bukan untuk memberi rasa aman pada perusahaan yang jelasjelas merusak lingkungan serta mencederai hak-hak dasar masyarakat.
BAKUMSU menilai pemerintah dalam hal ini turut menjadi sumber permasalahan. Belum ada kebijakan hingga saat ini yang memberikan perlindungan dan penghormatan kepada masyarakat adat. Kebijakan yang dikeluarkan cenderung semakin menguntungkan dan memberi ruang kepada PT. TPL untuk merampas hak masyarakat adat. Hingga saat ini, pemerintah juga belum berani memutuskan solusi yang konkrit dan adil bagi masyarakat adat yang selama ini dirampas tanah dan hak-hak adatnya.
BAKUMSU merilis beberapa hal berikut yang selayaknya menjadi pertimbangan bagi para pengambil kebijakan:
1. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Kapolda Sumut) mengawasi dan memproses hukum dan/atau etika anggotanya yang bertindak tidak sesuai aturan. Kapolda Sumut juga memastikan anggotanya tidak berdiri di belakang pemodal, melainkan benar-benar menjadi pengayom masyarakat. Aparat kepolisian cukup berjaga-jaga memastikan agar tidak terjadi konflik horizontal, bukan malah turut bersama pemodal untuk menindas masyarakat.
2. Komisi Nasional HAM sebagai lembaga mandiri setingkat lembaga negara yang bertugas melakukan pemantauan HAM sebagaimana disebutkan pada pasal 1 ayat (7) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, berkoordinasi dengan POLRI dalam rangka memberi masukan-masukan kepada POLRI agar melaksanakan tugasnya sesuai aturan dan dengan mengarusutamakan prinsip-prinsip HAM.
3. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan pengawasan terhadap operasi perusahaan PT. TPL, serta melakukan audit dampak sosial dari kegiatan perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, KLHK kemudian mempercepat penyelesaian konflik antara PT. TPL dengan Masyarakat Adat Sihaporas.